Di antara
semua yang hadir, ada dua orang yang menjadi pusat perhatian. Mereka adalah
akademisi yang menjadi inovator beberapa kebijakan pemerintah yang membawa
Indonesia menjadi salah satu dari lima negara dengan tingkat kesejahteraan
paling besar bersama India, China, Meksiko, dan Kanada. Gagasan-gagasan mereka
menuntun Indonesia menuju kesejahteraan, khususnya di bidang pangan dan energi
yang telah lama menjadi masalah di periode awal kemerdekaan. Mereka adalah
Prof. Rusli dan Prof. Sukma.
Setelah
berlangsung selama kurang lebih lima jam, konferensi itu berakhir dengan
menghasilkan beberapa kebijakan baru
guna memperkuat posisi Indonesia di puncak kegemilangannya.
“Sukma!",
sahut sebuah suara mengundang Prof. Sukma menoleh. Ternyata suara itu adalah
Prof. Rusli.
“Eh, kamu Rus,
apa kabar kamu Rus?", sambut Prof. Sukma.
“Ya,
beginilah. Kamu?”, jawab Prof. Rusli sekenanya.
“Alhamdulillah,
baik", Prof. Sukma menimpali.
Ya, Prof.
Sukma adalah kawan lama Prof. Rusli yang sudah lama tidak bertemu karena
keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Dengan alasan itulah Prof. Sukma
menerima ajakan Prof. Rusli untuk makan malam bersama.
Mereka
bercerita ini itu, kesana kemari, tertawa geli, mengingat masa lalu mereka di
kala muda. Tap,i tiba-tiba suasana jadi hening ketika Prof. Rusli menanyakan
kabar suami dan anak-anak Prof. Sukma. Prof. Sukma seolah tidak siap dengan
pertanyaan itu.
Sambil
menghela napas dalam, sambil sedikit tersenyum kecut, Prof. Sukma mulai
menjelaskan “Aku belum menikah Rus".
"Benarkah?",
Prof. Rusli memastikan.
“Ya, aku
memang belum menikah, karena entah kenapa sampai sekarang aku belum menemukan
seseorang yang tepat", ia menunduk. “Mungkin inilah saatnya kamu tahu
semuanya Rus"
Prof. Sukma
mengutarakan semua perasaan yang selama ini ia pendam kepada Prof. Rusli. Sejak
muda, Prof. Sukma telah jatuh hati pada Prof. Rusli, tapi dia tidak punya
sedikit pun keberanian untuk mengutarakannya.
Mendengar hal
tersebut, Prof. Rusli bukannya menunjukkan rasa empati kepada teman lamanya
itu, melainkan tersenyum, seolah ia bahagia mendengar itu semua.
“Aneh memang,
tapi sudahlah, itu hanya masa lalu. Toh juga sekarang kamu sudah bahagia dengan
keluargamu, istri dan anak-anakmu", ujar Prof. Sukma. Ia merasa
ditertawakan.
“Istri? Anak?”
Prof. Rusli menimpali.
Prof. Rusli
kemudian mengeluarkan dompetnya, lalu mengeluarkan tiga lembar kertas usang,
mungkin sudah sangat tua, lalu menyuruh Prof. Sukma membacanya. Prof. Sukma
sedikit bingung melihat namanya tertulis di atas surat itu.
Setelah
membaca surat itu, Prof. Sukma menatap Prof. Rusli dengan matanya yang mulai
berkaca-kaca. Ia kini paham bahwa Prof. Rusli tidak berniat untuk
menertawakannya. Siapa sangka kenangan itu masih diabadikan dengan rapi oleh
Prof. Rusli. Puluhan tahun ia menyimpan rasa itu sendiri, berpikir bahwa ia
telah menghabiskan waktunya untuk menunggu yang tak pasti. Kini semua telah
terjawab oleh waktu.
"Mungkin
terkesan dramatis, Sukma. Tapi, aku sudah tahu kita akan bertemu lagi. Sebab
itulah aku memanggilmu, lalu mengajakmu ke sini. Sejujurnya aku sudah dengar
bahwa kamu belum menikah. Tapi, aku tidak yakin, sehingga aku melontarkan
pertanyaan itu untuk memastikan", Prof. Rusli tersenyum, "Setelah
mendengarnya langsung darimu, ternyata apa yang kupersiapkan tidak
sia-sia".
Prof. Rusli
mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, sementara Prof. Sukma mengernyit heran.
"Mungkin inilah akhir dari penantianku, juga penantianmu selama ini. Aku
tidak ingin kehilangan kesempatan ini untuk kesekian kalinya", Prof. Rusli
menyodorkan sebuah cincin yang indah, "Sukma... maukah kamu menikah
denganku?"
Air mata yang
sedari tadi tergenang di pelupuk mata Prof. Sukma perlahan mengalir membasahi
pipinya. Ia sadar ia tidak lagi muda, beberapa helai rambutnya telah memutih,
bahkan kulitnya sudah menua. Tapi, akankah usia menjadi penghalang untuk
merasakan betapa bahagianya perasaan cinta yang berbalas? Apa ada kata
terlambat untuk memulai hidup baru setelah bertahun-tahun yang dihabiskan untuk
menunggu? Prof. Sukma tahu jawaban dari pertanyaan itu adalah 'tidak'. Ia
menarik napas dalam, dengan yakin, ia pun mengangguk pelan, "Ya, aku
bersedia"
Mereka pun
melangsungkan pernikahan pada hari ulang
tahun Prof. Sukma yang ke-49.
0 comments:
Posting Komentar