Kami tulis, Kita baca

Senin, 12 Oktober 2015

CINTA DAN WAKTU

          Hari itu, dalam rangka memperingati seabad Republik Indonesia merdeka,  presiden mengadakan sebuah konferensi di Istana Negara, Pontianak. Konferensi yang mengusung tema ‘Indonesia Baru’ itu diselenggarakan guna mengevaluasi kinerja pemerintah selama seratus tahun setelah kemerdekaan. Konferensi itu menghadirkan perwakilan dari semua lembaga pemerintah, legislatif, yudikatif, eksekutif, dan perwakilan akademisi.
Di antara semua yang hadir, ada dua orang yang menjadi pusat perhatian. Mereka adalah akademisi yang menjadi inovator beberapa kebijakan pemerintah yang membawa Indonesia menjadi salah satu dari lima negara dengan tingkat kesejahteraan paling besar bersama India, China, Meksiko, dan Kanada. Gagasan-gagasan mereka menuntun Indonesia menuju kesejahteraan, khususnya di bidang pangan dan energi yang telah lama menjadi masalah di periode awal kemerdekaan. Mereka adalah Prof. Rusli dan Prof. Sukma.
Setelah berlangsung selama kurang lebih lima jam, konferensi itu berakhir dengan menghasilkan  beberapa kebijakan baru guna memperkuat posisi Indonesia di puncak kegemilangannya.
“Sukma!", sahut sebuah suara mengundang Prof. Sukma menoleh. Ternyata suara itu adalah Prof. Rusli.
“Eh, kamu Rus, apa kabar kamu Rus?", sambut Prof. Sukma.
“Ya, beginilah. Kamu?”, jawab Prof. Rusli sekenanya.
“Alhamdulillah, baik", Prof. Sukma menimpali.
Ya, Prof. Sukma adalah kawan lama Prof. Rusli yang sudah lama tidak bertemu karena keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Dengan alasan itulah Prof. Sukma menerima ajakan Prof. Rusli untuk makan malam bersama.
Mereka bercerita ini itu, kesana kemari, tertawa geli, mengingat masa lalu mereka di kala muda. Tap,i tiba-tiba suasana jadi hening ketika Prof. Rusli menanyakan kabar suami dan anak-anak Prof. Sukma. Prof. Sukma seolah tidak siap dengan pertanyaan itu.
Sambil menghela napas dalam, sambil sedikit tersenyum kecut, Prof. Sukma mulai menjelaskan “Aku belum menikah Rus".
"Benarkah?", Prof. Rusli memastikan.
“Ya, aku memang belum menikah, karena entah kenapa sampai sekarang aku belum menemukan seseorang yang tepat", ia menunduk. “Mungkin inilah saatnya kamu tahu semuanya Rus"
Prof. Sukma mengutarakan semua perasaan yang selama ini ia pendam kepada Prof. Rusli. Sejak muda, Prof. Sukma telah jatuh hati pada Prof. Rusli, tapi dia tidak punya sedikit pun keberanian untuk mengutarakannya.
Mendengar hal tersebut, Prof. Rusli bukannya menunjukkan rasa empati kepada teman lamanya itu, melainkan tersenyum, seolah ia bahagia mendengar itu semua.
“Aneh memang, tapi sudahlah, itu hanya masa lalu. Toh juga sekarang kamu sudah bahagia dengan keluargamu, istri dan anak-anakmu", ujar Prof. Sukma. Ia merasa ditertawakan.
“Istri? Anak?” Prof. Rusli menimpali.
Prof. Rusli kemudian mengeluarkan dompetnya, lalu mengeluarkan tiga lembar kertas usang, mungkin sudah sangat tua, lalu menyuruh Prof. Sukma membacanya. Prof. Sukma sedikit bingung melihat namanya tertulis di atas surat itu.
Setelah membaca surat itu, Prof. Sukma menatap Prof. Rusli dengan matanya yang mulai berkaca-kaca. Ia kini paham bahwa Prof. Rusli tidak berniat untuk menertawakannya. Siapa sangka kenangan itu masih diabadikan dengan rapi oleh Prof. Rusli. Puluhan tahun ia menyimpan rasa itu sendiri, berpikir bahwa ia telah menghabiskan waktunya untuk menunggu yang tak pasti. Kini semua telah terjawab oleh waktu.
"Mungkin terkesan dramatis, Sukma. Tapi, aku sudah tahu kita akan bertemu lagi. Sebab itulah aku memanggilmu, lalu mengajakmu ke sini. Sejujurnya aku sudah dengar bahwa kamu belum menikah. Tapi, aku tidak yakin, sehingga aku melontarkan pertanyaan itu untuk memastikan", Prof. Rusli tersenyum, "Setelah mendengarnya langsung darimu, ternyata apa yang kupersiapkan tidak sia-sia".
Prof. Rusli mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, sementara Prof. Sukma mengernyit heran. "Mungkin inilah akhir dari penantianku, juga penantianmu selama ini. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan ini untuk kesekian kalinya", Prof. Rusli menyodorkan sebuah cincin yang indah, "Sukma... maukah kamu menikah denganku?"
Air mata yang sedari tadi tergenang di pelupuk mata Prof. Sukma perlahan mengalir membasahi pipinya. Ia sadar ia tidak lagi muda, beberapa helai rambutnya telah memutih, bahkan kulitnya sudah menua. Tapi, akankah usia menjadi penghalang untuk merasakan betapa bahagianya perasaan cinta yang berbalas? Apa ada kata terlambat untuk memulai hidup baru setelah bertahun-tahun yang dihabiskan untuk menunggu? Prof. Sukma tahu jawaban dari pertanyaan itu adalah 'tidak'. Ia menarik napas dalam, dengan yakin, ia pun mengangguk pelan, "Ya, aku bersedia"
Mereka pun melangsungkan pernikahan pada hari ulang tahun Prof. Sukma  yang ke-49.

Share:

0 comments:

Posting Komentar