Kami tulis, Kita baca

Senin, 12 Oktober 2015

UNTUKMU SUKMA

19 Safar 1434 Hijriah
Teruntuk Sukma di seberang sana

Assalamualaikum Warahamatullahi Wabarakatuh
Semoga Allah melindungi kita dari fitnah dan juga kesesatan yang nyata.
Aamiin...
Sukma, aku tak tahu harus memulai dari mana. Aku bingung harus mengatakan apa. Aku masih ragu, takut dan sangat khawatir dengan apa yang akan kukatan nanti. Sungguh, aku tak tahu harus mengatakan apa. Sepertinya aku tak sanggup jika menuliskan kata hati ini meski sebait saja. Tapi, harus bagaimana lagi jika rasa jiwaku sudah tidak bisa aku kendalikan lagi? Aku ragu terhadap kebenaran yang aku rasakan dalam diriku saat ini. Keraguanku itu oleh sebab; hal yang akan aku katakana ini masih terlalu dini untuk aku ucapkan, terlebih antara kita belum terlampau jauh saling mengenal. Semua terasa tumbuh jadi satu ketidakpastian rasa. Entahlah…
            Jangankan kenal, membicarakan hal hal yang ringan saja tidak pernah, kaku. Namun, antara kita masih diuntungkan dengan jarak yang tidak begitu jauh. Hanya tersekat beberapa bangunan saja. Terlebih tanpa sengaja kita juga sering berpapasan di jalan luar asrama dan kita saling sapa, itupun tanpa saling tatap mata, aku ingin menatapmu tapi kau menundukkan wajah. Padahal, sebenarnya, ketika itu aku sangat memperhatikanmu, Sukma. (Apakah kau sama sepertiku, yang sebenarnya, meski tertunduk, juga memperhatikanku?)
            Memang terkesan lucu, kita sering bertemu, sering berada dalam ruangan atau forum yang sama, tapi kita seperti tidak punya waktu untuk sekedar membicarakan hal di luar hal-hal membosankan yang selalu menjadi topik di setiap pekumpulan itu. Apa mungkin aku yang tidak punya segenggam keberanian untuk memulainya, atau memang Tuhan yang tidak menganugerahi kita waktu meski sebentar saja. Tapi, apakah itu perlu kita bahas untuk saat ini? Aku kira tidak perlu. Entah bagaimana denganmu?
            Sukma, sebelumnya lapangkanlah jiwamu. Maafkanlah aku yang telalu lancang ini. Sukma, rasa takut jiwaku ini karena jika nanti apa yang aku katakanakan menjadi fitnah dan juga akan menjadi belati di dalam hatimu. Aku tidak mau karena hanya sebuah keinginan yag tak kunjung bisa dipahami, lantas hal itu menjadikan kita semakin menjauh, karena jujur aku sangat tersiksa jika kita saling jauh seperti dua kali sebelumnya yang aku juga tidak sadar telah melukaimu, tapi dari semua itu telah menumbuhkan harap yang tidak pasti dalam diriku. Aku tidak mau kehilangan sedikitpun rasa ini oleh karena sebuah perpisahan yang menyakitkan, egois memang. Dari sanalah aku bias memahami bias itu, meski hanya sedikit sekali. Meski pada akhirnya aku harus menelan kecewa, menelan semua rasa yang pada akhirnya menjadi sebuah kegetiran yang makin histeris. Menelan resah hanya dengan bayangmu saja. Aku juga merasakan suatu bias sukmamu. Sedangkan kekhawatiranku adalah ketika apa yang menjadi keinginanku akan pupus begitu saja oleh karena ketidaksepahaman kita. Aku khawatir jika nanti dengan apa yang aku harapkan akan menjadi boomerang bagi diriku sendiri. Aku takut jika rasa ini justru menyebabkan kebalikan dari rasa yang ada pada dirimu; aku takut jika nantinya rasa cinta justru lebur jadi rasa iba, benci, bahkan kedengkian yang mengejawantah jadi dendam…
            Sukma, maafkan aku. Mungkin hal ini terlalu tergesa-gesa bagi kita. Sukma, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Tapi maaf! Mungkin hal ini terlalu tabu dan tidak lumrah bagi kita. Pasalnya apa yang aku lakukan akan menyalahi tradisi yang ada. Sukma, sejak pertama kau duduk di sampingku satu setengah tahun lalu. Terlebih setelah mendengar suaramu di telepon beberapa bulan setelah kita berkenalan. Ada rasa aneh menyelinap, ada perasaan yang selalu mengusik pikiranku hingga aku susah memejamkan mata tiap malam. Susah sekali rasanya mengucapkan kata-kata itu. Sebelum aku melanjutkan kata hatiku, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu? Salahkah aku berbuat demikian? Salahkah bila aku mencoba untuk jujur pada hati kecilku sendiri? Salahkah aku bila menyimpan sebuah rasa dalam getar hatiku? Salahkah aku bila memulai sesuatu yang jelas terlarang? Apakah tindakanku ini terlalu berani menurutmu? Naifkah ini, Sukma?
            Kau harus tahu bahwa inilah tabiatku, karakterku. Bahwa inilah aku yang idak bisa berlama-lama memendam rasa; jika aku ingin mengatakan maka sebisanya aku katakana segera, agar aku cepat terbebas dari beban-beban yang merutuki hati dan jiwa. Kau tahu, setiap kita bersapa meski tanpa kata, desiran itu seperti percikan api yang berkejaran dalam jiwaku. Aku seperti terbakar. Darahku seperti deras mengalir hingga membuat kepala sampai kakiku seperti kesemutan. Dari sanalah rasa itu tumbuh. Dari sanalah tumbuh bias-bias asa; bias-bias yang sedikit bisa membuatku bisa mengenal pancawarna dan juga matahari yang bernama cinta dalam taman jiwaku yang sunyi. Dosakah bila diri ini berbuat demikian. Apa kau mampu merasakan apa yang aku rasakan saat ini? Kau tahu, dalam setiap abjad ini, aku sertakan getaran hatiku. Kegelisahan, kemanisan dan kepahitan yang tak dapat kubendung gelombangnya. Nyeri. Dan, ah… aku tak sanggup untuk melanjutkannya.
            Sukma, aku hanyalah manusia biasa yang membutuhkan orang lain. Butuh perhatian, butuh kasih sayang. Aku adalah manusia yang dibekali oleh tuhan dengan akal, rasa, hati, jiwa dan juga perasaan. Dan, tak tahu apa lagi. Aku tak tahu mengapa pertemuan itu merayuku untuk melakukan hal itu. Tidak! Tidak, Sukma! Kuharap ini bukan dari setan. Aku berharap ini adalah karunia Allah yang diturunkan dalam hati kecilku hingga kata-kata itu menuntunku dalam naungan-Nya yang suci. Mengaruniakan cinta kasih yang tak terkira dalam jiwa kita. Meski terkadang ada rasa manis dalam luka cinta atas semua itu. Aku berharap rasa ini benar-benar tulus untuk mencintai dan  berharap untuk dicintai dengan tulus pula, tanpa ada pengingkaran dan pengkhianatan di dalamnya. Apakah kita akan mengelak ketika Tuhan memberikan kesucian atas nama cinta dalam jiwa kita?
            Memang terlalu tabu bagiku untuk mengatakan sesuatu yang sakral bagi tradisi (terlebih bagi kita yang sudah seperti santri-santriwati). Tapi aku sudah tidak bisa menahan rasa itu, Sukma. Kian hari aku semakin gelisah, makin terpental jauh bila melawan rasa itu. Aku sudah berusaha melawan rasa itu. Tapi sungguh aku tak bisa, Sukma. Perlahan kucoba memahami dan mengikuti semua itu. Sakit Sukma rasanya bila aku menentang semua itu. Sakit. Bahkan aku tak mampu melawannya. Justru kian perih bila aku rasakan. Kucoba menguraikannya dalam penafsiranku tentangnya, meski perlahan-lahan. Namun seiring waktu berjalan, dari semua itu, telah kutemu bias dan jawaban meski jawaban itu asih samar. Mungkin engkau tahu apa yang menjadi maksudku? Jika engkau mampu menerjemahkan kata hati yang tak sempurna kutuliskan ini, buatmu. Maka besar harapanku untuk menerima balasan darimu.
            Sengaja aku menulis surat dan mengirimkan surat ini bertepatan dengan dimulainya cakrawala, tahun, baru. Aku berbuat demikian karena aku ingin mengukir sejarah dalam hidupku, entah nanti ukiran sejarah itu akan berakhir manis ataupun pahit; yang jelas aku menginginkan hal yang demikian.
            Sekali lagi maafkan atas segala kelancanganku ini. Semoga coretanku ini bisa meringankan kegelisahan yang makin mendera jiwaku. Sukma, meski terkadang aku merasa takut jika aku akan bertepuk sebelah tangan atas semua hal yang aku rasakan, takut kehilangan atas kesucian rasa yang kupendam begitu indah. Bahkan aku makin takut setelah mendengar jawaban terjujur dari hatimu, aku malah terpuruk dalam asaku sendiri. Aku takkan memaknai semua itu dengan luka, karena sekalipun luka, ia tetap cinta bagiku. Tapi aku takkan penah menyesal telah menyimpan rasa ini dan juga mencintaimu. Aku akan menyimpan rapat dalam lubuk hatiku. Karena dari rasa inilah aku memaknai makna cinta itu sendiri. Kalaupun memang kita tak bisa, dan, tak mampu bersua oleh sebab keterikatan adat yang kian membelenggu, yang secara jujur kita ingin terlepas darinya, dan keluar dari lingkaran jemu, menjadikan kita manusia terpasung, lalu, kita hanya menjadi boneka tontonan yang diarak di jalan-jalan kehidupan, tetap, kita masih akan terkalahkan olehnya, seperkasa apapun itu. Namun, biarlah kita saling mencintai dengan hati saja, biarkan kita mencintai dengan hati yang tulus, karena hal itu lebih indah dan agung, bahkan takkan susutkan pancaran cahaya pada hati atas nama cinta. Cukup hanya hatimu dan dengan cintamu, aku memilikimu.
            Telah kurelakan nestapa bertubi-tubi merajam tubuh, bahkan telah sirna gelak tawa dan semua itu telah menjelma menjadi rupa kepedihan nian nelangsa, ironis. Namun tetap kita berpijak dalam ruang cinta, tapi relakah bila cinta dan hati kita tergores dan menjadi luka? Justru, menjadi sebuah ketakutanku pada apa yang kukhawatirkan (sejauh ku mengenal cinta) apabila dengan bertemunya jasad kita, hal itu akan merubah wajah cinta tulus menjadi nafsu dan angkara.
            Kalaupun ku tak miliki jasadmu (karena kau berikan pada yang lain) hanya ingin ku miliki hatimu, menyimpannya dalam peti jiwaku, toh hatimu tetap untukku dan biarlah semua bersatu di nirwana kelak, dan, aku kan tetap menanti, menunggu sampai kau mengerti akan rasa hati dan jiwa ini.
            Kiranya cukup itu saja luapan tak sempurna ini. Semoga Allah selalu melindungimu yang hanya untukku.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Seseorang yang menyimpan cinta dalam hatinya
Rusli
Zikir-zikir cinta Anam Kharul Anam

NB: Setelah kau baca suratku ini,  lekaslah temui aku. Karena selama itu aku menunggu jawabanmu. Sengaja aku melakukan demikian karena aku ingin mendengar langsung putusanmu atas kata hatiku. Aku ingin langsung mendengar suaramu langsung bukan suara yang aku buat sendiri  ketika membaca balasanmu atas putusan hatiku.  Bagiku suaramu adalah emas yang akan kumasukkan dalam laci hatiku. Biarlah suaramu akan menjadi sesuatu yang indah dalam hidupku. Meski apa yang aku rasa nanti akan pahit seperti empedu. Alasan lain aku melakukan ini, aku tahu kau punya keberanian untuk itu, meski kau ada setelah setengah tahun dariku.

Share:

0 comments:

Posting Komentar