Teruntuk Sukma di seberang sana
Assalamualaikum
Warahamatullahi Wabarakatuh
Semoga
Allah melindungi kita dari fitnah dan juga kesesatan yang nyata.
Aamiin...
Sukma, aku tak tahu harus memulai dari
mana. Aku bingung harus mengatakan apa. Aku masih ragu, takut dan sangat
khawatir dengan apa yang akan kukatan nanti. Sungguh, aku tak tahu harus
mengatakan apa. Sepertinya aku tak sanggup jika menuliskan kata hati ini meski
sebait saja. Tapi, harus bagaimana lagi jika rasa jiwaku sudah tidak bisa aku
kendalikan lagi? Aku ragu terhadap kebenaran yang aku rasakan dalam diriku saat
ini. Keraguanku itu oleh sebab; hal yang akan aku katakana ini masih terlalu
dini untuk aku ucapkan, terlebih antara kita belum terlampau jauh saling
mengenal. Semua terasa tumbuh jadi satu ketidakpastian rasa. Entahlah…
Jangankan kenal, membicarakan hal
hal yang ringan saja tidak pernah, kaku. Namun, antara kita masih diuntungkan
dengan jarak yang tidak begitu jauh. Hanya tersekat beberapa bangunan saja.
Terlebih tanpa sengaja kita juga sering berpapasan di jalan luar asrama dan
kita saling sapa, itupun tanpa saling tatap mata, aku ingin menatapmu tapi kau
menundukkan wajah. Padahal, sebenarnya, ketika itu aku sangat memperhatikanmu,
Sukma. (Apakah kau sama sepertiku, yang sebenarnya, meski tertunduk, juga
memperhatikanku?)
Memang terkesan lucu, kita sering
bertemu, sering berada dalam ruangan atau forum yang sama, tapi kita seperti
tidak punya waktu untuk sekedar membicarakan hal di luar hal-hal membosankan
yang selalu menjadi topik di setiap pekumpulan itu. Apa mungkin aku yang tidak
punya segenggam keberanian untuk memulainya, atau memang Tuhan yang tidak
menganugerahi kita waktu meski sebentar saja. Tapi, apakah itu perlu kita bahas
untuk saat ini? Aku kira tidak perlu. Entah bagaimana denganmu?
Sukma, sebelumnya lapangkanlah
jiwamu. Maafkanlah aku yang telalu lancang ini. Sukma, rasa takut jiwaku ini
karena jika nanti apa yang aku katakanakan menjadi fitnah dan juga akan menjadi
belati di dalam hatimu. Aku tidak mau karena hanya sebuah keinginan yag tak
kunjung bisa dipahami, lantas hal itu menjadikan kita semakin menjauh, karena
jujur aku sangat tersiksa jika kita saling jauh seperti dua kali sebelumnya
yang aku juga tidak sadar telah melukaimu, tapi dari semua itu telah
menumbuhkan harap yang tidak pasti dalam diriku. Aku tidak mau kehilangan
sedikitpun rasa ini oleh karena sebuah perpisahan yang menyakitkan, egois
memang. Dari sanalah aku bias memahami bias itu, meski hanya sedikit sekali.
Meski pada akhirnya aku harus menelan kecewa, menelan semua rasa yang pada akhirnya
menjadi sebuah kegetiran yang makin histeris. Menelan resah hanya dengan
bayangmu saja. Aku juga merasakan suatu bias sukmamu. Sedangkan kekhawatiranku
adalah ketika apa yang menjadi keinginanku akan pupus begitu saja oleh karena
ketidaksepahaman kita. Aku khawatir jika nanti dengan apa yang aku harapkan
akan menjadi boomerang bagi diriku sendiri. Aku takut jika rasa ini justru menyebabkan
kebalikan dari rasa yang ada pada dirimu; aku takut jika nantinya rasa cinta
justru lebur jadi rasa iba, benci, bahkan kedengkian yang mengejawantah jadi
dendam…
Sukma, maafkan aku. Mungkin hal ini
terlalu tergesa-gesa bagi kita. Sukma, aku ingin mengatakan sesuatu padamu.
Tapi maaf! Mungkin hal ini terlalu tabu dan tidak lumrah bagi kita. Pasalnya
apa yang aku lakukan akan menyalahi tradisi yang ada. Sukma, sejak pertama kau
duduk di sampingku satu setengah tahun lalu. Terlebih setelah mendengar suaramu
di telepon beberapa bulan setelah kita berkenalan. Ada rasa aneh menyelinap,
ada perasaan yang selalu mengusik pikiranku hingga aku susah memejamkan mata
tiap malam. Susah sekali rasanya mengucapkan kata-kata itu. Sebelum aku
melanjutkan kata hatiku, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu? Salahkah aku
berbuat demikian? Salahkah bila aku mencoba untuk jujur pada hati kecilku
sendiri? Salahkah aku bila menyimpan sebuah rasa dalam getar hatiku? Salahkah
aku bila memulai sesuatu yang jelas terlarang? Apakah tindakanku ini terlalu
berani menurutmu? Naifkah ini, Sukma?
Kau harus tahu bahwa inilah
tabiatku, karakterku. Bahwa inilah aku yang idak bisa berlama-lama memendam
rasa; jika aku ingin mengatakan maka sebisanya aku katakana segera, agar aku
cepat terbebas dari beban-beban yang merutuki hati dan jiwa. Kau tahu, setiap
kita bersapa meski tanpa kata, desiran itu seperti percikan api yang berkejaran
dalam jiwaku. Aku seperti terbakar. Darahku seperti deras mengalir hingga
membuat kepala sampai kakiku seperti kesemutan. Dari sanalah rasa itu tumbuh.
Dari sanalah tumbuh bias-bias asa; bias-bias yang sedikit bisa membuatku bisa
mengenal pancawarna dan juga matahari yang bernama cinta dalam taman jiwaku
yang sunyi. Dosakah bila diri ini berbuat demikian. Apa kau mampu merasakan apa
yang aku rasakan saat ini? Kau tahu, dalam setiap abjad ini, aku sertakan
getaran hatiku. Kegelisahan, kemanisan dan kepahitan yang tak dapat kubendung
gelombangnya. Nyeri. Dan, ah… aku tak sanggup untuk melanjutkannya.
Sukma, aku hanyalah manusia biasa
yang membutuhkan orang lain. Butuh perhatian, butuh kasih sayang. Aku adalah
manusia yang dibekali oleh tuhan dengan akal, rasa, hati, jiwa dan juga
perasaan. Dan, tak tahu apa lagi. Aku tak tahu mengapa pertemuan itu merayuku
untuk melakukan hal itu. Tidak! Tidak, Sukma! Kuharap ini bukan dari setan. Aku
berharap ini adalah karunia Allah yang diturunkan dalam hati kecilku hingga
kata-kata itu menuntunku dalam naungan-Nya yang suci. Mengaruniakan cinta kasih
yang tak terkira dalam jiwa kita. Meski terkadang ada rasa manis dalam luka
cinta atas semua itu. Aku berharap rasa ini benar-benar tulus untuk mencintai
dan berharap untuk dicintai dengan tulus
pula, tanpa ada pengingkaran dan pengkhianatan di dalamnya. Apakah kita akan
mengelak ketika Tuhan memberikan kesucian atas nama cinta dalam jiwa kita?
Memang terlalu tabu bagiku untuk
mengatakan sesuatu yang sakral bagi tradisi (terlebih bagi kita yang sudah
seperti santri-santriwati). Tapi aku sudah tidak bisa menahan rasa itu, Sukma.
Kian hari aku semakin gelisah, makin terpental jauh bila melawan rasa itu. Aku
sudah berusaha melawan rasa itu. Tapi sungguh aku tak bisa, Sukma. Perlahan
kucoba memahami dan mengikuti semua itu. Sakit Sukma rasanya bila aku menentang
semua itu. Sakit. Bahkan aku tak mampu melawannya. Justru kian perih bila aku
rasakan. Kucoba menguraikannya dalam penafsiranku tentangnya, meski
perlahan-lahan. Namun seiring waktu berjalan, dari semua itu, telah kutemu bias
dan jawaban meski jawaban itu asih samar. Mungkin engkau tahu apa yang menjadi
maksudku? Jika engkau mampu menerjemahkan kata hati yang tak sempurna
kutuliskan ini, buatmu. Maka besar harapanku untuk menerima balasan darimu.
Sengaja aku menulis surat dan
mengirimkan surat ini bertepatan dengan dimulainya cakrawala, tahun, baru. Aku
berbuat demikian karena aku ingin mengukir sejarah dalam hidupku, entah nanti
ukiran sejarah itu akan berakhir manis ataupun pahit; yang jelas aku
menginginkan hal yang demikian.
Sekali lagi maafkan atas segala
kelancanganku ini. Semoga coretanku ini bisa meringankan kegelisahan yang makin
mendera jiwaku. Sukma, meski terkadang aku merasa takut jika aku akan bertepuk
sebelah tangan atas semua hal yang aku rasakan, takut kehilangan atas kesucian
rasa yang kupendam begitu indah. Bahkan aku makin takut setelah mendengar
jawaban terjujur dari hatimu, aku malah terpuruk dalam asaku sendiri. Aku
takkan memaknai semua itu dengan luka, karena sekalipun luka, ia tetap cinta
bagiku. Tapi aku takkan penah menyesal telah menyimpan rasa ini dan juga
mencintaimu. Aku akan menyimpan rapat dalam lubuk hatiku. Karena dari rasa
inilah aku memaknai makna cinta itu sendiri. Kalaupun memang kita tak bisa,
dan, tak mampu bersua oleh sebab keterikatan adat yang kian membelenggu, yang
secara jujur kita ingin terlepas darinya, dan keluar dari lingkaran jemu,
menjadikan kita manusia terpasung, lalu, kita hanya menjadi boneka tontonan yang
diarak di jalan-jalan kehidupan, tetap, kita masih akan terkalahkan olehnya,
seperkasa apapun itu. Namun, biarlah kita saling mencintai dengan hati saja,
biarkan kita mencintai dengan hati yang tulus, karena hal itu lebih indah dan
agung, bahkan takkan susutkan pancaran cahaya pada hati atas nama cinta. Cukup
hanya hatimu dan dengan cintamu, aku memilikimu.
Telah kurelakan nestapa bertubi-tubi
merajam tubuh, bahkan telah sirna gelak tawa dan semua itu telah menjelma
menjadi rupa kepedihan nian nelangsa, ironis. Namun tetap kita berpijak dalam
ruang cinta, tapi relakah bila cinta dan hati kita tergores dan menjadi luka?
Justru, menjadi sebuah ketakutanku pada apa yang kukhawatirkan (sejauh ku
mengenal cinta) apabila dengan bertemunya jasad kita, hal itu akan merubah
wajah cinta tulus menjadi nafsu dan angkara.
Kalaupun ku tak miliki jasadmu
(karena kau berikan pada yang lain) hanya ingin ku miliki hatimu, menyimpannya
dalam peti jiwaku, toh hatimu tetap untukku dan biarlah semua bersatu di
nirwana kelak, dan, aku kan tetap menanti, menunggu sampai kau mengerti akan
rasa hati dan jiwa ini.
Kiranya cukup itu saja luapan tak
sempurna ini. Semoga Allah selalu melindungimu yang hanya untukku.
Wassalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Seseorang yang menyimpan cinta
dalam hatinya
Rusli
Zikir-zikir cinta Anam Kharul Anam
NB:
Setelah kau baca suratku ini, lekaslah
temui aku. Karena selama itu aku menunggu jawabanmu. Sengaja aku melakukan
demikian karena aku ingin mendengar langsung putusanmu atas kata hatiku. Aku
ingin langsung mendengar suaramu langsung bukan suara yang aku buat
sendiri ketika membaca balasanmu atas
putusan hatiku. Bagiku suaramu adalah
emas yang akan kumasukkan dalam laci hatiku. Biarlah suaramu akan menjadi
sesuatu yang indah dalam hidupku. Meski apa yang aku rasa nanti akan pahit
seperti empedu. Alasan lain aku melakukan ini, aku tahu kau punya keberanian
untuk itu, meski kau ada setelah setengah tahun dariku.
0 comments:
Posting Komentar